Di musim kemarau, mentari pukul delapan sudah cukup terasa menyengat. Begitu lah yang dirasakan oleh Adi dan Indra yang sedang berada di sebuah metro mini menuju wilayah perkantoran Sudirman. Saat itu, bus yang mereka tumpangi sedang berada di sekitar Kalibata, salah satu daerah langganan macet di Jakarta.
Adi menghela nafas. Kemudian ia melontarkan keluhan, "Duh… sampe kapan sih harus begini. Apa orang-orang gak bosen dengan macet begini? Liat deh, itu ada mobil yang isinya cuma satu orang. Kenapa sih orang itu gak milih naek angkutan umum? Bikin macet aja."
Entah keluhan yang keberapa dari mulut Adi selama ia terjebak kemacetan. "Kenapa sih… kalo udah tau gak bakalan bisa menyelesaikan macet, kenapa masih ngotot jadi gubernur?" Keluhnya lagi.
Indra, yang duduk di samping Adi. Cuma tersenyum mendengar keluhan-keluhan itu.
Tak lama, di samping metro mini itu lewat lah bus lain yang mengeluarkan asap hitam pekat dari knalpotnya. Asap itu masuk ke dalam metro mini yang ditumpangi Adi, dan membuat Adi lagi-lagi melontarkan dumelannya.
Tak tahan dengan keluhan-keluhan temannya, Indra menegur Adi. "Buat apa sih ngeluh terus Di? Kayaknya hidup lu penuh dengan kesulitan-kesulitan aja." Ujar Indra sambil tertawa kecil.
"Iya sih… kalo dipikir-pikir. Kayaknya hidup gw penuh dengan kesulitan deh." Balas Adi.
"Halah.. lebay." Kali ini Indra tertawa lepas.
"Memang iya, Ndra. Ada-ada aja kesulitan dateng. Terakhir, gw diancem sama bos untuk gak boleh telat. Kalau telat, ada hukuman pengurangan gaji. Padahal gw beberapa hari ini telat karena motor gw rusak." Adi membela diri.
"Lho, yang laen aja bisa gak telat kok, Di."
"Ya, tapi kan gw terbiasa bawa motor. Sekalinya gak bawa motor, gw agak susah mengatur ulang jadwal berangkat ke kantor. Lagian, oke lah masalah telat itu karena gw sendiri. Gimana dengan masalah rusaknya motor gw gara-gara ditabrak lari mobil? Itu kan bukan salah gw. Dan masih banyak lagi masalah gw laennya. Banyak yang bukan karena keteledoran gw." Adi terus membela diri.
Indra menarik nafas panjang dan kemudian menghelanya. "Tapi bukan jadi alasan buat ngeluh, Di."
"Ya, tapi wajar dong kalo gw ngeluh."
"Gak lah."
"Lho, kok?"
"Gini deh. Misalnya lu jadi ikan yang hidup di kolam yang sempit banget. Lu sangat gak betah dengan kolam itu. Lalu suatu hari lu nemuin ada lubang sebagai jalan menuju kolam di samping yang jauh lebih luas. Lu harus melalui lubang itu untuk ke kolam yang lebih luas. Tapi lubang itu sempit banget, cuma lebih besar sedikit dari ukuran badan lu. Apa lu tetep akan menempuh jalan itu?"
"Mmm… Sebenernya gw lebih pantes diumpamakan sebagai burung merak yang indah, Ndra. Tapi kalo pun jadi ikan, mungkin ikan mas koki yang keren kali ya."
"Terserah deh. Tadinya gw mau mengumpamakan lu sebagai kecebong. Masih mending gw umpamakan sebagai ikan. Jadi lu mau gak melewati lubang itu. Ceritanya lu pengen bener tinggal di kolam sebelah."
"Ya… mau aja."
"Walaupun lubang itu sempit? Lu gak ngeluh?"
"Gak ngeluh dong. Kan gw udah tau bakalan dapetin tempat yang lebih baik. Lebih luas berkali lipat dari kolam pertama."
"Nah… kalo gitu, terhadap semua kesulitan, lu gak perlu ngeluh Di."
"Lah… kenapa Ndra? Maksudnya apa sih perumpamaan itu?"
"Semua kesulitan itu seperti lubang sempit itu, Di. Yang membawa pada kenikmatan dan kelapangan."
"Ya gw udah tau. Kalo kesulitan itu membawa kemudahan. Tapi mending gak ada kesulitan sama sekali dan gak perlu ada kemudahan, kalau jadinya impas."
"Kok impas?"
"Iya, memang ujung-ujungnya sih ada kemudahan. Tapi harus lewat kesulitan dulu. Seperti impas gitu kan? Mending gak ada kesulitan sekalian."
"Lho… bukan impas, Di. Kesulitan itu membawa keuntungan. Kadarnya lebih besar dari pada kesulitan yang lu derita. Seperti perumpamaan tadi, dapet tempat yang jauh lebih luas dari tempat sebelumnya. Untung kan?"
"Ya itu kan cuma ada dalam perumpamaan elu. Bukan di kehidupan nyata."
"Di kehidupan nyata juga, Di. Allah swt kok yang bilang itu."
"Ah, masa’?"
"Lu tau dong surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6."
"Iya tau. Setelah kesulitan ada kemudahan. Itu yang impas kata gw tadi."
"Lu salah memahaminya berarti. Di ayat itu bukan impas, tapi untung. Karena Allah menyebut Al-’usr, dan yusron. Al yang berdempetan dengan kata ‘usr (kesulitan) itu bentuk tunggal. Sedangkan kata yusron (kemudahan) tidak memakai Al, tidak berbentuk tunggal, yang berarti kemudahan itu ada banyak. Jadi Allah menyebutkan setelah satu kesulitan itu ada banyak kemudahan. Bukan setelah satu kesulitan ada satu kemudahan. Gitu lho."
Adi terdiam sebentar. Kemudian ia menjawab, "Oh gitu… Tapi kok… kenapa gw belum ngerasain kelapangan-kelapangan itu ya?"
"Karena kemudahan-kemudahan itu gak membekas di hati lu, Di. Lu cuma meresapi kesulitan aja, dengan cara mengeluh. Tapi terhadap kemudahan dari Allah, lu biarkan lewat tanpa disyukuri. Kalau lu gak mengeluh dan banyak bersyukur, lu pasti nyadar kalo kehidupan lu dipenuhi oleh kemudahan." Balas Indra.
Adi lagi-lagi terdiam.
"Ya kan?" Kata Indra lagi, menagih pembenaran.
Tapi Adi tidak menjawab. Hanya diam. Dan akhirnya Indra melemparkan senyuman ke luar jendela.
******
Menafsirkan Surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, Ibnu Katsir menulis: "Ada pun penjelasannya adalah sebagai berikut. Lafazh "Al-’usri" (kesulitan) dalam ayat tadi yang terdapat di dua tempat itu berbentuk ma’rifat (definitif). Ini menunjukkan arti bahwa kesulitan itu sebenarnya hanya satu (mufrad). Sedangkan Lafazh "yusran" berbentuk nakirah (indefinitif). Ini menunjukkan bahwa kemudahan itu sebenarnya ada banyak (muta’addid). Karena itulah Nabi saw bersabda ‘Satu kesulitan takkan bisa mengalahkan dua kemudahan’. Itu lah yang dimaksud dengan firman-Nya ‘Karena sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.’ Al-’usr yang pertama itu sama dengan al-’usr yang kedua. Sedangkan yusr (kemudahan) itu ada banyak."
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat QS.94:2-6 Rasululloh SAW. bersabda: "Bergembiralah kalian karena akan datang kemudahan bagi kalian. Satu kesusahan tidak akan mengalahkan dua kemudahan." (Diriwayatkan oleh Ibnu jarir yang bersumber dari al-Hasan.)
Agar kita bisa merasakan kemudahan-kemudahan itu, maka perbanyaklah bersyukur atas nikmat dari Allah swt. "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)" (QS 93:11). Terhadap kesulitan, hendaklah berlaku ridho. Dengan itu kita akan sadar bahwa kemudahan yang kita dapat lebih banyak daripada kesulitan.
Setelah Kesulitan
Diposting oleh
dharty
|
Label:
Islami
/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar